Understanding the virus

Haekal
4 min readJun 6, 2020

--

by Haekal

Coronavirus Disease 2019 (“COVID 19”) merupakan wabah yang disebabkan oleh infeksi virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Berdasarkan tingkat penyebaran dan dampak secara global, WHO menetapkan COVID 19 sebagai pandemi. Istilah pandemi sendiri merujuk pada penyakit yang menyebar secara masal di banyak negara dalam waktu yang bersamaan.

Pandemik COVID 19 merupakan hal baru bagi dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia, maka tidak heran apabila terdapat banyak kekeliruan dalam presepsi masyarakat yang berujung pada kepanikan. Hal ini diperparah dengan banyaknya informasi yang keliru dan menyesatkan baik di media televisi, cetak dan internet.

Sejak awal isu COVID 19 merebak, masyarakat menilai Pemerintah Indonesia lambat dalam menangani pandemik ini, hal tersebut dapat dilihat jelas melalui jejaring sosial media serta diskusi publik di televisi nasional. Masyarakat luas menghujat sikap pemerintah serta meminta menerapkan lockdownmenyeluruh di Indonesia. Dalam beberapa aspek, pandangan masyarakat tersebut ada benarnya, kurangnya APD bagi tenaga kesehatan merupakan bukti nyata kurangnya kesiapan memerintah menghadapi pandemik yang berskala luas seperti COVID 19. Namun, pemerintah dihadapkan pada siatuasi sulit karena segala kebijakan preventif COVID 19 mulai dari anjuran social distancingsampai lockdownakan memberikan impact yang signifikan pada perekonomian negara dan berujung meningkatnya pengangguran dan kelaparan.

Pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk melakukan himbauan social distancingsejak pertengahan Januari atau menunda langkah tersebut untuk memastikan Indonesia memiliki tambahan waktu dalam menghimpun kekuatan ekonomi menghadapi pandemik dalam jangka yang relatif panjang.

Perlu dipahami, bahwa arahan pemerintah untuk melakukan social distancingbukan untuk menghilangkan pandemik COVID 19 di Indonesia melainkan untuk memberikan waktu lebih bagi pemerintah dan tenaga kesehatan untuk dapat memberikan pertolongan medis yang memadai bagi pasien COVID 19 di Indonesia. Dalam skenario terburuk, apabila social distancingtidak dilakukan maka akan menyebabkan jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit, hal ini akan menyebabkan para pasien tidak mendapat penanganan medis yang memadai dan berakibat pada tingginya tingkat kematian di akibat COVID 19 di Indonesia.

Pandemik dengan skala sebesar ini bukan pertama kalinya terjadi, bahkan dalam dua puluh tahun terakhir ada beberapa pandemik yang memakan banyak korban jiwa dalam waktu lebih singkat. Masyarakat dunia mengalami pengalaman serupa dengan COVID 19 ketika wabah ebola menyerang, hanya saja perbedaannya adalah ketika itu Presiden Amerika Serikat, Barack Obama bertindak cepat dan menjadikan Amerika Serikat sebagai pemimpin dalam perang terhadap pandemik ebola.

Berkat penanganan yang cepat dan tepat, ebola dapat diredakan dan tidak sampai menyebar keseluruh dunia seperti pada kasus COVID 19, walaupun tetap memakan banyak korban jiwa. Sementara itu, Amerika Serikat dibawah Donald Trump menyepelekan dan menjadikan COVID 19 sebagai candaan disela-sela pidato kampanyenya untuk maju dalam pemilihan Presiden mendatang. Hal tersebut membuat Amerika Serikat harus menghadapi dampak kesehatan terparah sejak typhoid fever atau bisa disebut typhoid mary yang berpusat di New York pada tahun 1906–1914 yang menyebabkan 10,771 warga Amerika Serikat meninggal setiap tahunnya. Pandemik Typhoid mary baru berakhir setelah ditemukan vaksin terhadap penyakit tersebut setelah penelitian panjang yang berujung pada pemberian lisensi pada vaksin tersebut pada 1914.

COVID 19 merupakan satu dari sekian banyak pandemic yang meneror dunia dalam setengah abad terakhir, meski begitu perkembangan terkini menunjukan COVID 19 sebagai salah satu bencana kesehatan terbesar dan masih berkembang kearah yang mengkhawatirkan. Dr. Anthony Fauci, seorang ahli infectious diseases yang bekerja sama dengan 6 Presiden Amerika Serikat terakhir dalam memerangi penyebaran virus mulai dari SARS, Ebola, HIV dan ZIKA mengatakan bahwa yang membuat COVID 19 berbeda adalah penyebaran nya yang cepat. Seorang yang telah terinfeksi COVID 19 dapat melakukan kegiatan dengan normal dan tanpa sadar menularkannya pada orang disekelilingnya hanya dengan kontak fisik kecil seperti berjabat tangan. Penderita COVID 19 pada tahap awal hampir tanpa gejala, sementara penderita ebola mengalami gejala sakit berat hingga tidak bisa beraktifitas seperti biasa.

Masyarakat, akademisi, peneliti serta pemerintah mencoba untuk penjabarkan siklus COVID 19 berdasarkan kasus pandemik terdahulu dan penelitian terhadap pola COVID 19 di Wuhan yang telah mulai mereda. Pada umumnya mereka mencapai pada kesimpulan bahwa pandemic ini akan mereda dalam 2–4 bulan kedepan dan untuk sekenario terburuk adalah 6 bulan dari awal pandemik ini masuk ke Indonesia. Terkait hal ini, Philanthropist sekaligus pendiri Microsoft William “Bill” Gates, memiliki pendapat yang berbeda, ia meyakini bahwa dunia tidak akan kembali seperti semula hingga vaksin COVID 19 di temukan. Dasar pendapat Bill Gates ini adalah fakta bahwa persebaran COVID 19 sangat cepat dan bila sembuh dari COVID 19 tidak menjamin seseorang akan kebal dari virus tersebut. Faktanyanya, seorang yang telah terkena COVID 19 dapat berkali-kali terinfeksi lagi, hal ini menunjukan bahwa vaksin adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan dunia seperti sediakala. Tidak hanya menghilangkan COVID 19 tetapi keberadaan vaksin secara perlahan akan mengembalikan tatan kehidupan normal.

Dalam kasus typhoid mary proses pembuatan vaksin memakan waktu hampir 10 tahun, tetapi di masa kini proses dapat dilakukan lebih cepat. Setidaknya dalam fase pertama pembuatan vaksin akan memakan waktu 6 bulan, setelah itu dimulai fase pengembangan dan pengetesan. Dalam waktu kurang dari 1 tahun diharapkan vaksin tersebut telah ditemukan, walaupun belum sempurna dan memerlukan penyempurnaan seiring perjalanan waktu.

Masyarakat perlu mendapat pengetahuan yang memadai mengenai bahaya dan cara penanggulangan COVID 19. Mieux vaut prévenir que guérir, dalam bahasa Indonesia berarti, pencegahan selalu memberi manfaat yang lebih besar dibandingkan proses pengobatan. Semoga masyarakat Indonesia dapat memahami makna kalimat tersebut.

--

--

No responses yet