Sebuah Kisah Tentang Akhir

Haekal
3 min readMar 10, 2021

--

Sore itu terasa menyedihkan, ketika menyaksikan dua orang yang bahkan tidak ku kenal tampak begitu terluka. Ditemani tea lattes ku yang disajikan pada gelas abu-abu bermotif minimalis, seorang wanita muda tampak terisak, di depannya pria muda bersusah payah menahan jatuhnya air mata. Ditengah derasnya butiran air hujan yang berjatuhan, percakapan kedua pasangan tersebut terdengar jelas.

Mereka berusaha terlihat tegar, walaupun tampak usaha tersebut sia-sia. Pada awalnya percakapan itu hanya seperti percakapan pada umumnya ketika sepasang anak muda sedang menghadapi masalah. Percakapan itu nampak sangat menyakitkan bagi mereka berdua, walaupun tidak ada salah satu di antara mereka yang menyakiti pasangannya.

Curi dengar, mereka sudah bersama dalam 4 tahun terakhir, berbagi tawa dan duka diiringi riuhnya ibu kota yang sibuk berkejar-kejaran sebagai latar cerita mereka, sebuah cerita yang nampaknya akan segera berakhir. Mereka tersenyum ketika sang wanita mengingatkan awal hubungan mereka.

Setangkai mawar berwarna biru menjadi awal dari perjalanan panjang mereka. Ternyata mereka pertama kali bertemu di cafe kecil ini, di tempat ini pula sang pria menyampaikan isi hatinya sembari menyerahkan setangkai mawar tersebut yang dengan sempurna berhasil ia sembunyikan dalam tas backpacknya.

Suasana suram yang terkesan di awal percakapan sejenak menghilang digantikan suka cita. Selayaknya pasangan yang saling menyayangi mereka bertebar senyum hangat di sela-sela obrolan. Sayang hanya sekejap suasana suram tersebut hilang. Mereka kembali pada realita bahwa hubungan mereka akan segera berakhir.

Ku lihat cangkir abu-abu ditangan ku telah kosong, begitu pula dengan mayoritas bangku di cafe itu, yang dapat kulihat hanya pasangan tersebut dan seorang pria dengan hoodie biru di pojok ruangan. Dua jam telah berlalu tanpa ku tahu apa yang terjadi dengan pasangan itu. Mereka saling menyayangi dengan senyuman tulus di detik-detik terakhir hubungan mereka.

Ku amati pasangan itu, sejenak terdapat hal yang janggal di mata seorang anak manusia yang menghabiskan 28 tahun hidupnya di kota Jakarta. Sang wanita mengenakan hijab orange cerah, dan sang pria memakai kalung berbentuk salib. Tidak ada yang salah dengan hal itu, tentu tidak ada yang salah.

Mereka berdiri dan berbagi pelukan hangat dengan tetesan air mata tiada terbendung dari mata mereka. Mereka berjalan menjauh dan menghilang dari penglihatan. Ku terdiam, hingga seorang karyawan cafe mendatangi ku untuk menyampaikan bahwa cafe tersebut sudah akan tutup. Sambil tersenyum dan menyerahkan uang kertas lima puluh ribu rupiah kepada karyawan tersebut, ku bangkit dan berjalan ke arah basement tempat mobil ku terparkir.

Cafe itu tidak jauh dari basement, tapi perjalanan ku terasa begitu lama, membuat pikiran ku melayang pada kedua pasangan tersebut. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku tidak ingin menerka-nerka, tapi pikiran ku tak bisa ku kendalikan.

Sepasang manusia yang telah mengenal dan melihat satu sama lain selama bertahun-tahun memutuskan untuk berpisah karena perbedaan pandangan soal sang pencipta. Menarik, ketika mereka memilih untuk meninggalkan seorang yang telah dikenalnya selama bertahun tahun untuk sesuatu yang bahkan belum pernah mereka lihat, belum pernah mereka dengar, dan belum pernah mereka sentuh.

Suatu konsepsi abstrak tentang kepercayaan, membuat kedua orang yang saling menyayangi berpisah. Apakah itu keputusan mereka, atau orang lain yang memutuskan untuk mereka dengan berbagai alasan. Sebagian orang bilang agar masuk surga. Sebagian lagi agar tidak jadi omongan tetangga. Yang lain mengatakan hubungan itu pamali (mungkin mereka kehabisan alasan).

“Ini bukan tentang hasil akhir, tapi tentang hak seorang anak manusia untuk menjalani hidup dengan pilihannya, bukankah untuk itu bangsa ini didirikan”

Sebagian orang memiliki kepercayaan, dan mereka memegang teguh kepercayaan itu. Teguh dan begitu syahdu. Sayangnya itu hanya sebagian, sebagian lagi hubungan antar penyembah beda tuhan berakhir karena omongan tetangga. Heuuf, semoga orang-orang yang mendengar dan membaca itu berusaha untuk memahami dan bukan hanya untuk menyiapkan argumen balasan. (SL10321)

--

--

No responses yet